“Papa, ceritain ‘dong, gimana pertemuan Papa sama Mama!”
Si bungsu menepuk pelan paha ayahnya, menyalurkan rasa penasaran yang membara. Begitupun dengan kakak kembarnya pula, yang turut inginkan hal serupa — persoalan mengenai pertemuan pertama Mama dan Papa hingga bisa simpulkan bahwa keduanya saling mencinta.
Gelak tawa mengudara selagi ayahanda mengelus kedua anak yang paling dicintai dengan sirat penuh kasih. “Kalau gitu, dengarkan Papa baik-baik, ya.”
Diputar kembali dalam benak, manis pahit kenangan masa lawas yang masih tersimpan dengan rapi pada kotak memori. Bernostalgia pada tiap detik tawa hingga tengkar yang dilalui bersama.
Cyno menarik napas panjang, memulai cerita yang kelak akan menjadi karangan panjang.
Temu pandang mata perdana dilalui tepat saat keduanya bersimpuh pada satu kompetisi, yang mana dicari peneliti terbaik dari seluruh kalangan mahasiswa. Cyno, masih berada jauh pada gelar Mahamatra, sedang Tighnari, hampir telah berdiri di puncak kemenangan semata-mata. Dapat dibilang, pemuda penguasa wilayah padang pasir cukup dengki pada jenius mahir yang nihil ditemukan kesalahan pada tiap penelitian serta asesmennya. Mendekati sempurna.
Cyno tahu persis, ketenaran Tighnari yang tak dapat dipungkiri, kepintaran Tighnari yang tak dapat disandingi, dan molek cendayam Tighnari yang bagaikan eloknya kasturi.
“Tighnari,”
Inilah, konversasi pertama yang diaju sedemikian rupa, semata-mata untuk alih segala dendam tertanam pada relung jiwa, menurunkan harga diri hanya untuk tanya beberapa perkara.
Tighnari menolehkan kepala, bertanya-tanya (meski dengan ekspresi wajah yang tidak beri senyum pula).
“Referensi lo di penelitian tentang Nilotpala, itu apa?” Cyno bertanya dengan raut tak ramah, serta lengan bersedekap dada; hendaknya beri unjuk bahwa ia bukanlah sosok dibawah bayang yang luput dari pandang.
“Dari jurnal Prevalensi Kasus dan Mujarab Tanaman Herbal, tahun 2009, yang ditulis sama Professor Albedo. Lo mau pinjem?”
Tak ada jawab dari Cyno, hanya lamun yang nihil beri respon untuk tawaran yang diberi.
“Halo? Lo Cyno ‘kan? Peserta lomba KTI juga?”
Dan masih, tidak ada jawaban.
“Lo gak punya mulut ya? Pantesan jadi peserta terakhir,”
Telapak tangan menggebrak meja perpustakaan secara gamblang, menggertak dengan brutal tanpa disadar bahwa sekitar telah jatuhkan pandang. Tidak terima, harga diri dijatuhkan — meski Tighnari sendiri menganggap bahwa ucapannya hanya sebuah fakta yang tak dapat dibantah konkretnya.
“Iya gue Cyno. Dan liat aja nanti, gue, bakal ngalahin lo.”
Setelahnya pun, Cyno langsung melenggang pergi dari ruang, tanpa mengindahkan eksistensi penjaga perpustakaan yang hendak mengumandang teguran.
Dan Tighnari, mengerjapkan kedua mata; bingung. Apa ini — adalah salah satu adegan perundungan dalam suatu roman picisan? Kalau memang iya, Tighnari kelak menunggu sang pangeran datang.
Namun, bahkan sebelum pangeran datang, Tighnari meluncurkan dengus geli. Perilaku Cyno terlihat menggemaskan. Mungkin, mereka benar akan menjadi saingan kuat di kemudian hari.
Pada beberapa rentang waktu lamanya, beberapa kali pandang mata bertemu satu sama lain, tanpa beri salam tabik ataupun senyum sekilas, keduanya hanya sibuk bersaing untuk menjadi yang terbaik diantara seluruh mahasiswa terbaik. Cyno, dengan penelitiannya tentang Padisarah. Dan Tighnari, dengan penelitiannya tentang Al-Ahmar.
Tiba pada waktu penjurian, tak ada satupun di antara mereka yang menang. Buat keduanya pupus harapan — dan disanalah Tighnari melihat Cyno memasang ekspresi untuk kali pertama. Sebuah raut menyiratkan kekecewaan mendalam.
Di bawah rindang kayu bernuansa kehijauan khas Akademiya, Cyno dudukkan diri pada hamparan luas tanah membentang bagai bukit kecil di tengah kota. Merenung bagai tengah berduka, sebelum kini menoleh saat menyadari ada pasang mata lain yang daratkan diri pada sisi. Ialah, Tighnari. Duduk di sebelah sembari bersenandung kecil.
“Kenapa milih Padisarah?”
Cyno mengernyit, tidak biasa dengan Tighnari yang membuka percakapan terlebih dahulu. Toh biasanya, lelaki itu menjatuhkan serapah dengan mulut sadisnya itu.
“Gak ada alasan khusus. Karena suka aja,” dijawabnya demikian. Tighnari memanggut, mengerti dengan penjelasan singkat yang sebenarnya tidak terlalu menjawab rasa penasarannya.
“Lo sendiri, kenapa milih Al-Ahmar? Bukannya penelitian tentang dewa itu ditentang banget sama Akademiya?” Dan tanpa diduga, Cyno turut mempertanyakan.
Tighnari mengangkat bahu, “Ditentang bukan berarti dilarang. Lagian, gue tertarik sama Al-Ahmar dan jarik dewa-nya.”
“Lo gak punya otak, ya?”
Tighnari terkikik geli, yang malah setelahnya menganggukkan kepala, mengiyakan. “Iya, gak punya. Soalnya gue neliti apapun yang menarik perhatian gue. Menang kalah itu, belakangan.”
Iris biram Cyno menangkap potret tawa merekah dari lelaki di sisi, buat degup jantung tanpa sadar berisik sedari tadi. Ia berdeham, mendengus kasar setelahnya.
“Lagian, kita berdua, gak ada yang menang.”
Suasana mencair, baik Cyno ataupun Tighnari, menertawakan mirisnya nasib yang telah dilalui. Hingga beberapa waktu ke depan, keduanya menjadi lebih dekat; entah itu sebagai teman ataupun sebagai saingan.
“Papa dulu benci Mama?” Si Bungsu memajukan bibirnya, hampir-hampir menitikkan air mata, membuat Cyno menggelakkan tawa menguar tanpa sadar.
“Enggak gitu, anak manis. Tapi iya — dulu Papa kesel sama Mama, soalnya mulutnya jahat banget. Arogan, gitu. Kalian jangan kayak Mama, ya.”
Anak yang lebih tua memukul pelan lengah ayahnya, menegur. “Kalo Mama denger, Papa bisa diracun.”
Dan lagi, Cyno tertawa geli setelahnya.
“Terus, Papa mulai jatuh cinta sama Mama itu, sejak kapan? Lagi ngapain? Kok bisa jatuh cinta? Papa cium Mama?”
Cyno membelalakkan kedua mata, tidak siap dengan pertanyaan bertubi dari si bungsu yang dikuasai rasa penasaran.
“Hmm, Papa gak tau detailnya kapan mulai jatuh cinta. Tapi Papa sadar, kalo Papa nyaman di dekat Mama. Papa sadar, kalo cuma Mama satu-satunya yang mengerti Papa, yang menerima segala kekurangan Papa.”
Tepatnya, saat itu. Dimana Cyno menemukan Tighnari tertidur selagi buku terbuka lebar sebagai alasnya. Nampak begitu tenang dan teduh, bagai sosok makhluk yang tak memiliki setitik pun dosa. Perlahan, buku-buku jemari meraih poni, menyingkirkan beberapa helai yang sesekali mengganggu posisi tidurnya. Dan ia, Cyno, terlarut dalam keelokan rupa yang hampir menyerupai kata sempurna. Ia jatuh ke dalam pesona. Perlahan ia bergerak maju, mencuri satu kecupan sekilas pada bibir biram seranum buah persik yang telah matang.
“Cyno?”
“Astaga,”
Dan tanpa sadar, Tighnari telah membuka mata. Meski sayu lantaran dihantam rasa kantuk, dengan beberapa kali kelopak mengatup, mencerna situasi yang barusan terjadi sekilas di depan mata.
“Eh, Ari — itu tadi, ada nyamuk.”
Tighnari jelas tahu, bahwa Cyno membual. Ia menarik seragam yang dikenakan Cyno, menariknya untuk lebih dekat. “Kalo mau cium, bukannya lebih baik pas lawan lagi dalam kondisi sadar?”
Cyno tergagap, dengan kedekatan jarak yang hampir tak kurang dari lima inci, jelas degup jantung tak lagi berdetak seperti sedia kala. Sejak kapan, Tighnari mempelajari perihal seduksi?
Masih dalam awang-awang pemikiran kalut di posisi seperti ini, Tighnari bubuhkan kembali pagutan bibir yang kali ini lebih bertahan lama, lebih bergairah, dan lebih bisa disebut untuk salurkan romansa. Tanpa diucap ‘pun, baik Cyno ataupun Tighnari, telah paham bahwa keduanya saling memendam rasa.
Perpustakaan ini, merupakan saksi bisu dari mereka yang saling bersaing dan lemparkan sirat kebencian, dan juga merupakan saksi bisu kedua insan yang jatuh dalam masing-masing pesona.
“Lo suka sama gue?” Tighnari bertanya, dengan parau lirih setelah merampas begitu banyak oksigen setelah ciuman terlepas.
Cyno mengangguk, mengecup kembali bibir roman di hadapan sebelum kini tabuh kalimat yang telah lama dinanti. “Pacaran, mau gak?”
Tentu, semua pun tahu jawabannya.
Mereka berdua menjadi pasangan berbahagia hingga ke jenjang pelaminan, hingga ke masa penjaninan, dan hingga detik sekarang masih berjalan. Dengan diagihkan dua anak kembar yang begitu mirip dengan rupa sang istri, yang paling dicintai.
Premis romansa yang begitu indah dikenang, ia larut dalam perasaan nostalgia.
Tidak ada yang mampu meminimalisir, mengurangi, ataupun menghapus rasa cinta dalam relung hati terhadap Tighnari. Ia mencintainya, dengan segenap raga, segenap daksa, segenap jiwa, dan pula seluruh harsa.
“Papa, jangan nangis.”
Si bungsu mengelap tetesan yang mengalir dari pelupuk mata, serta kakak kembarnya memeluk leher sang ayah; menyalurkan kehangatan.
“Papa kangen Mama, ya?” Cyno menganggukkan kepala, membalas rengkuh pada kedua anak yang kini menjadi satu-satunya prioritas. Membayangkan gelak tawa serta omelan tak henti yang tak jarang diberi untuk isi hari-hari, ataupun perkara kecil yang tidak seharusnya menjadi pemantik api. Seluruh kenangan diputar pada benak tanpa henti.
“Papa sayang kalian,” Dan pada final kata, ia mengusap segala tetes bening yang membasahi sisi wajah, mengulas senyum menguatkan depan anak-anak tercinta.
Tighnari, kamu-lah sang Padisarah. Menjadi suaka yang tak akan pernah terganti, yang menjadi belahan hidupku selama ini. Aku bahagia, bersama anak-anakku, bersama anak-anakmu. Dan kamu, juga harus bahagia di sana.